Nikah Beda Agama
![]() |
Nikah |
Modus Nikah Beda Agama
Laporan MUI, menyoroti maraknya praktik nikah beda agama yang dianggap "mencurangi aturan". Misalnya, pasangan yang mengubah data agama di KTP secara sementara atau menikah di luar negeri untuk menghindari UU Perkawinan No. 1/1974. Aturan ini hanya mengakui pernikahan seagama, sehingga pasangan beda agama seringkali terpaksa mencari celah hukum. MUI menegaskan bahwa praktik semacam ini tidak hanya melanggar hukum negara, tapi juga prinsip agama. Mereka mendorong pemerintah dan DPRD untuk memperketat pengawasan, termasuk revisi aturan yang dinilai ambigu.
Di tingkat lokal, beberapa DPRD pernah mengusulkan regulasi khusus untuk mengakomodir nikah beda agama, meski belum ada realisasi konkret. Sementara itu, hukum saat ini tetap berpegang pada UU Perkawinan, meski Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2023 menolak judicial review yang mengusung legalisasi nikah beda agama. Ketegangan antara hukum positif dan realita sosial ini menciptakan dilema. Di satu sisi, negara ingin melindungi prinsip agama; di sisi lain, ada tuntutan sebagian masyarakat plural yang menginginkan pengakuan atas hak asasi.
Rusia: Majelis Ulama yang Lebih Fleksibel
Menariknya, Majelis Ulama Rusia justru mengeluarkan fatwa yang membolehkan pria Muslim menikah beda agama, asalkan pasangan non-Muslim itu penganut agama samawi (Kristen atau Yahudi). Fatwa ini, menjadi kontras dengan sikap MUI. Meski demikian, keputusan ini tidak lepas dari konteks Rusia yang memiliki populasi Muslim minoritas dan tradisi multikultural lebih panjang. Perbedaan ini menunjukkan bahwa fatwa keagamaan seringkali dipengaruhi kondisi sosial-politik suatu negara.
Mencari Jalan Tengah
Kisah Junjung-Fenny dan temuan MUI mengajak kita melihat nikah beda agama dari dua sisi: sebagai aspirasi personal dan tantangan sistemik. Bagi pasangan yang ingin "disatukan", upaya mereka kerap berbenturan dengan aturan yang dipandang kaku. Namun, bagi majelis ulama dan sebagian masyarakat, nikah beda agama dianggap mengancam fondasi keluarga dan keyakinan. Di sinilah peran negara diperlukan untuk membuka ruang dialog inklusif, tanpa mengabaikan prinsip hukum dan agama.
Pertanyaannya: bisakah Indonesia merumuskan kebijakan yang lebih adaptif, seperti mengakui pernikahan sipil untuk pasangan beda agama? Atau adakah cara untuk meminimalisir "modus" manipulatif tanpa mengorbankan hak warga negara? Jawabannya mungkin terletak pada kolaborasi antara rezim pemerintahan, DPRD, majelis ulama, dan masyarakat untuk mencari solusi yang manusiawi, adil, dan beradab.