12 February 2025

Nikah Beda Agama


 

nik
Nikah

Kisah Junjung dan Fenny, pasangan asal Surabaya yang menikah beda agama, sempat viral di media sosial. Meski Junjung Muslim dan Fenny Kristen, mereka memilih jalan "disatukan" melalui pernikahan dengan saling menghormati keyakinan masing-masing. Cerita mereka, seperti memberikan menggambarkan, harapan sebagian pasangan beda agama di masyarakat Indonesia untuk melegalkan cinta di tengah aturan yang ada. Namun, di balik kisah harmonis ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) justru mengungkap praktik manipulasi aturan nikah beda agama dalam Asia Culture and Food Festival (ACFS) 2024.

Modus Nikah Beda Agama
Laporan MUI, menyoroti maraknya praktik nikah beda agama yang dianggap "mencurangi aturan". Misalnya, pasangan yang mengubah data agama di KTP secara sementara atau menikah di luar negeri untuk menghindari UU Perkawinan No. 1/1974. Aturan ini hanya mengakui pernikahan seagama, sehingga pasangan beda agama seringkali terpaksa mencari celah hukum. MUI menegaskan bahwa praktik semacam ini tidak hanya melanggar hukum negara, tapi juga prinsip agama. Mereka mendorong pemerintah dan DPRD untuk memperketat pengawasan, termasuk revisi aturan yang dinilai ambigu.  
 
Peran Negara  
Di tingkat lokal, beberapa DPRD pernah mengusulkan regulasi khusus untuk mengakomodir nikah beda agama, meski belum ada realisasi konkret. Sementara itu, hukum saat ini tetap berpegang pada UU Perkawinan, meski Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2023 menolak judicial review yang mengusung legalisasi nikah beda agama. Ketegangan antara hukum positif dan realita sosial ini menciptakan dilema. Di satu sisi, negara ingin melindungi prinsip agama; di sisi lain, ada tuntutan sebagian masyarakat plural yang menginginkan pengakuan atas hak asasi.  

Rusia: Majelis Ulama yang Lebih Fleksibel  
Menariknya, Majelis Ulama Rusia justru mengeluarkan fatwa yang membolehkan pria Muslim menikah beda agama, asalkan pasangan non-Muslim itu penganut agama samawi (Kristen atau Yahudi). Fatwa ini, menjadi kontras dengan sikap MUI. Meski demikian, keputusan ini tidak lepas dari konteks Rusia yang memiliki populasi Muslim minoritas dan tradisi multikultural lebih panjang. Perbedaan ini menunjukkan bahwa fatwa keagamaan seringkali dipengaruhi kondisi sosial-politik suatu negara.  

Mencari Jalan Tengah 
Kisah Junjung-Fenny dan temuan MUI mengajak kita melihat nikah beda agama dari dua sisi: sebagai aspirasi personal dan tantangan sistemik. Bagi pasangan yang ingin "disatukan", upaya mereka kerap berbenturan dengan aturan yang dipandang kaku. Namun, bagi majelis ulama dan sebagian masyarakat, nikah beda agama dianggap mengancam fondasi keluarga dan keyakinan. Di sinilah peran negara diperlukan untuk membuka ruang dialog inklusif, tanpa mengabaikan prinsip hukum dan agama.  

Pertanyaannya: bisakah Indonesia merumuskan kebijakan yang lebih adaptif, seperti mengakui pernikahan sipil untuk pasangan beda agama? Atau adakah cara untuk meminimalisir "modus" manipulatif tanpa mengorbankan hak warga negara? Jawabannya mungkin terletak pada kolaborasi antara rezim pemerintahan, DPRD, majelis ulama, dan masyarakat untuk mencari solusi yang manusiawi, adil, dan beradab.
 
sumber berita:
mui 

10 February 2025

Anak Mahasiswa Indonesia


 

stu
Kesempatan Mahasiswa

Indonesia punya banyak  anak muda yang berjuang dan melawan berbagai keterbatasan dalam meraih pendidikan tinggi. Sebut saja Annisa, David, dan tren anak muda yang pergi jauh ke Inggris Raya adalah bukti bahwa 'anak buruh', 'impian studi ke 'Inggris', dan karier sebagai 'dosen' bisa diraih dengan tekad dan strategi yang tepat.

Anak Buruh yang Menjadi Dokter
Annisa, putri seorang buruh pabrik di Semarang, membuktikan bahwa latar belakang ekonomi keluarga bukan penghalang untuk meraih gelar dokter. Dengan IPK 3,96 dari Universitas Diponegoro (UNDIP), perjalanannya dipenuhi pengorbanan. Orang tuanya bekerja keras demi biaya kuliah, sementara Annisa memanfaatkan beasiswa dan kerja paruh waktu untuk bertahan.  “Saya sering belajar sampai larut malam sambil membantu ibu menjual makanan kecil,” ceritanya. Kisah Annisa mengingatkan kita bahwa sistem beasiswa dan dukungan komunitas sangat penting untuk memutus rantai kemiskinan melalui pendidikan.  

Studi ke Inggris Raya  
Sementara Annisa berjuang di dalam negeri, banyak pemuda Indonesia kini membidik kampus di luar negeri, misalnya Inggris. Minat kuliah ke Inggris naik 25% dalam 3 tahun terakhir. Alasannya beragam: kualitas pendidikan, jaringan global, dan peluang kerja internasional.  Tapi bagaimana dengan biaya? Inggris memang mahal, tapi program beasiswa seperti LPDP, Chevening, atau dana dari kampus sendiri (seperti scholarship Oxford atau Cambridge) bisa jadi solusi. Selain itu, banyak mahasiswa memilih jurusan yang lebih terjangkau di kota kecil seperti Newcastle atau Edinburgh, sambil bekerja paruh waktu. Yang menarik, tak sedikit anak dari keluarga kurang mampu yang berhasil ke Inggris dengan kombinasi beasiswa dan pinjaman pendidikan. Ini menunjukkan bahwa impian studi ke luar negeri bukan hanya untuk kalangan elite.  

Dosen
Jika Annisa mengukir prestasi di dalam negeri, David memilih jalur berbeda. Setelah lulus S1 di Indonesia, ia mengambil S2 dan S3 di Inggris hanya dalam 3 tahun berkat program fast-track yang intensif. Kini, di usia 28 tahun, ia menjadi dosen di universitas ternama Thailand.  “Kuncinya adalah fokus dan manajemen waktu. Saya juga aktif riset sejak S1 agar bisa langsung berkontribusi di S3,” ujarnya. Kisah David membuktikan bahwa gelar doktor dan karier akademik bisa diraih lebih cepat jika kita punya perencanaan matang.  

Pendidikan sebagai Tangga Mobilitas Sosial  
Kisah Annisa, David, dan ribuan mahasiswa Indonesia di Inggris mengajarkan satu hal: pendidikan tetap menjadi alat paling ampuh untuk mengubah nasib. Anak buruh bisa jadi dokter, anak desa bisa kuliah di Oxford, dan lulusan S3 bisa jadi dosen di usia muda. Yang diperlukan hanyalah keberanian untuk bermimpi, kerja keras, dan dukungan sistem yang inklusif.  Bagi masyarakat umum, jangan biarkan latar belakang ekonomi membatasi langkah anak-anak Indonesia meraih pendidikan tertinggi!
 
sumber berita:

09 February 2025

Akibat Pemangkasan Anggaran


 

pem
Anggaran

Pemerintah Indonesia sedang melakukan pemangkasan anggaran (belanja) negara sebagai upaya efisiensi di tengah tantangan ekonomi global. Kebijakan ini, seperti dilaporkan Tempo, digagas oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto pada masa lalu, dengan tujuan mengoptimalkan penggunaan dana publik. Kebijakan pemangkasan ini akan berdampak pada pembangunan daerah serta sektor-sektor yang mengandalkan dana negara, yang pada ujungnya untuk memastikan keberlanjutan dan kualitas hidup masyarakat.

Gedung Perkantoran Kementerian
Pemangkasan anggaran juga mempengaruhi kinerja kementerian-kementerian yang ada di Indonesia. Banyak gedung kementerian yang tampak megah dan modern memerlukan biaya perawatan yang tidak sedikit. Dalam kondisi pemangkasan anggaran, program-program kementerian yang seharusnya memfokuskan dana untuk kepentingan publik seperti pendidikan dan kesehatan, sering kali tidak dapat berjalan maksimal. Salah satu dampaknya adalah berkurangnya anggaran untuk program-program yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat oleh kebutuhan perawatan dan fasilitas gedung kantor Pemerintah.  Hal ini sangat disayangkan, mengingat pentingnya asupan gizi yang tepat bagi pertumbuhan dan perkembangan anak-anak di daerah-daerah yang kurang mampu.
 
Anggaran di Daerah Terpencil
Seperti yang terjadi di Halmahera Selatan (Halsel), yang telah disebutkan dalam beberapa laporan berita terbaru, pemangkasan anggaran bisa berdampak signifikan pada pembangunan daerah. Disoroti bahwa pemangkasan anggaran untuk pembangunan infrastruktur dan program sosial sangat terasa di daerah tersebut. Dengan anggaran yang terbatas, proyek-proyek pembangunan yang seharusnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat harus tertunda atau bahkan dibatalkan. Pembangunan jalan, sekolah, fasilitas kesehatan, dan penyediaan air bersih yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat daerah, menjadi korban utama dari kebijakan ini. Padahal, kebutuhan akan pembangunan di wilayah seperti Halsel sangat mendesak untuk meningkatkan kualitas hidup warganya. Masyarakat di daerah tersebut berhak mendapatkan fasilitas yang setara dengan wilayah lainnya di Indonesia.

Makan Bergizi Gratis
Program makan bergizi gratis, terutama untuk anak sekolah dan keluarga kurang mampu, sering digaungkan sebagai solusi mengatasi stunting dan kemiskinan. Sayangnya, kebijakan penghematan berisiko mengganggu realisasi program ini. Meski belum ada kepastian apakah alokasinya dipotong, pengurangan anggaran di sektor lain—seperti kesehatan atau bantuan sosial—bisa berdampak tidak langsung.  Misalnya, jika dana untuk distribusi atau pengadaan bahan pangan dipangkas, program ini bisa terlambat atau tidak merata. Padahal, bagi masyarakat miskin di desa atau wilayah terpencil, akses terhadap makanan bergizi adalah urgensi. Ini menjadi ujian bagi pemerintah: bagaimana menjaga komitmen pada program sosial sembari berhemat.
 
sumber berita:

Rusun, Dilema Hunian bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah


 

rus
Rusun: Rumah Susun

Rumah susun (rusun) seharusnya menjadi solusi hunian layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, persoalan seperti pembatasan masa sewa, relokasi paksa seperti di Kampung Bayam, dan masalah tunggakan sewa justru menambah beban warga.   

Kami Mau Tinggal di Mana?  
Isu pembatasan masa sewa rusun ramai diperdebatkan setelah warga Rusun Marunda, Jakarta Utara, menolak kebijakan pemerintah yang membatasi masa hunian maksimal 10 tahun. Bagi banyak keluarga, rusun bukan sekadar tempat tinggal sementara, tapi “rumah” yang mereka bangun dengan kenangan dan usaha.  “Kalau diusir, kami harus ke mana? Tidak ada tabungan untuk beli rumah,” keluh salah seorang warga. Kebijakan ini dianggap mengabaikan kondisi ekonomi mereka yang sulit mencari alternatif hunian terjangkau. Pemerintah beralasan pembatasan diperlukan agar rusun bisa dinikmati lebih banyak keluarga. Namun, solusi konkret bagi warga yang harus pindah belum jelas. Apakah ada jaminan mereka akan mendapat rumah pengganti?  

Kampung Bayam  
Kisah pilu datang dari Rusun Kampung Bayam, Jakarta Timur. Setelah bertahun-tahun jadi polemik, ratusan penghuni akhirnya dipindahkan ke rusun baru di Jalan Tongkol. Meski terdengar positif, proses ini tidak mulus. Banyak warga mengaku dipaksa pindah tanpa persiapan memadai.  “Di sini (Jalan Tongkol) lebih sempit, fasilitas belum lengkap,” protes seorang ibu. Relokasi seringkali dianggap sebagai “solusi instan” tanpa mempertimbangkan kebutuhan dasar warga, seperti akses kerja, sekolah anak, atau lingkungan sosial. Kasus Kampung Bayam menjadi cermin betapa kebijakan perumahan seringkali “terburu-buru” dan minim partisipasi warga.  

Tunggakan Sewa
Masalah lain yang menghantui penghuni rusun adalah tunggakan swae. Di Rusun Pinus Elok, Jakarta Timur, banyak warga menunggak hingga puluhan juta rupiah. Penyebabnya beragam: PHK, biaya hidup naik, atau penghasilan tak tetap. Pemerintah sebenarnya memberi keringanan, seperti potongan denda atau skema cicil. Tapi bagi warga, ini bukan solusi jangka panjang. “Saya jualan gorengan, penghasilan pas-pasan. Kalau dipaksa bayar lunas, ya harus ngutang,” cerita seorang pedagang. Tunggakan sewa tidak hanya soal kemampuan bayar, tapi juga soal ketidakpastian ekonomi yang menghimpit masyarakat kecil.  

Solusi yang Manusiawi  
Akar masalahnya adalah kesenjangan antara kebijakan dan realita hidup warga. Pembatasan masa sewa, misalnya, perlu diimbangi dengan jaminan hunian pengganti. Relokasi seperti di Kampung Bayam harus melibatkan dialog dengan warga, bukan sekadar pindah alamat. Sementara tunggakan sewa butuh pendekatan fleksibel, seperti menyesuaikan tarif sewa dengan penghasilan. Pemerintah juga bisa belajar dari model pengelolaan rusun berbasis komunitas, di mana warga dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Selain itu, penting untuk memperkuat program bantuan sosial dan pelatihan kerja agar warga mampu membayar sewa tanpa terbebani.  

Rusun adalah tentang manusia, bukan sekadar beton. Setiap kebijakan harus mempertimbangkan hak warga untuk hidup layak. Pembatasan masa sewa, relokasi, atau penagihan tunggakan tidak boleh mengabaikan suara mereka yang terdampak. Dengan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan pihak terkait, rusun bisa benar-benar menjadi “rumah” yang memberi rasa aman, bukan sumber masalah baru.
 
sumber data: kompassindonewsdetik

07 February 2025

Perubahan Teknologi Memasak


 

tek
teknologi kompor

Teknologi memasak telah mengalami perkembangan dan evolusi yang signifikan dari masa ke masa. Perubahan ini tidak hanya memengaruhi cara kita memasak, tetapi juga gaya hidup dan efisiensi dalam menyiapkan makanan. Di Indonesia, perkembangan teknologi memasak bisa dilihat dari generasi ke generasi, mulai dari penggunaan tungku tradisional hingga kompor listrik yang canggih.   

Generasi Pertama: Tungku Kayu dan Arang  
Pada masa lalu, masyarakat Indonesia mengandalkan tungku kayu atau arang untuk memasak. Tungku ini biasanya terbuat dari tanah liat atau batu, dan bahan bakarnya adalah kayu atau arang. Meskipun sederhana, metode ini membutuhkan keterampilan khusus untuk mengatur api dan panas. Namun, penggunaan tungku memiliki kekurangan, seperti asap yang mengganggu pernapasan dan waktu memasak yang lebih lama.  

Generasi Kedua: Kompor Minyak Tanah  
Perkembangan teknologi memasak memasuki babak baru dengan hadirnya kompor minyak tanah. Kompor ini lebih praktis dibandingkan tungku karena mudah dinyalakan dan panasnya lebih terkontrol. Minyak tanah menjadi bahan bakar utama, dan kompor ini cepat populer di kalangan masyarakat Indonesia. Namun, kenaikan harga minyak tanah dan kelangkaannya di pasaran membuat kompor ini mulai ditinggalkan.  

Generasi Ketiga: Kompor Gas  
Evolusi teknologi memasak terus berlanjut dengan munculnya kompor gas. Kompor ini menggunakan gas LPG (Liquefied Petroleum Gas) sebagai bahan bakar, yang lebih efisien dan ramah lingkungan dibandingkan minyak tanah. Kompor gas juga menawarkan kontrol panas yang lebih presisi, sehingga memasak menjadi lebih mudah dan cepat. Saat ini, kompor gas masih menjadi pilihan utama di banyak rumah tangga Indonesia.  

Generasi Keempat: Kompor Listrik dan Induksi  
Di era modern, teknologi memasak semakin canggih dengan hadirnya kompor listrik dan kompor induksi. Kompor listrik menggunakan energi listrik untuk menghasilkan panas, sementara kompor induksi memanfaatkan medan elektromagnetik untuk memanaskan peralatan masak. Keduanya menawarkan keunggulan seperti lebih hemat energi, mudah dibersihkan, dan minim risiko kebakaran. Meskipun harganya relatif lebih mahal, kompor ini semakin populer di kalangan generasi muda yang mengutamakan kepraktisan dan keamanan.  

Perkembangan Teknologi Memasak  
Perkembangan teknologi memasak tidak hanya mengubah cara kita memasak, tetapi juga memengaruhi gaya hidup masyarakat. Dengan teknologi yang semakin canggih, waktu memasak menjadi lebih singkat, dan prosesnya pun lebih aman dan nyaman. Selain itu, teknologi modern juga mendorong kesadaran akan pentingnya efisiensi energi dan kelestarian lingkungan.  

Namun, di balik kemajuan ini, kita juga perlu mempertimbangkan aspek budaya. Misalnya, penggunaan tungku kayu atau arang masih ditemui di beberapa daerah pedesaan, karena dianggap memberikan cita rasa khas pada masakan tradisional. Oleh karena itu, perkembangan teknologi memasak sebaiknya tidak menghilangkan nilai-nilai budaya yang telah ada.
 
sumber: temporrikumparan

06 February 2025

Anggaran Proyek IKN Diblokir


 

PU
Menteri PU

Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo:
Realisasi anggaran IKN kayaknya belum ada. Kan anggaran kita diblokir semua. Anggarannya enggak ada, progresnya buat beli makan siangnya Pak Menteri. Itu progresnya,

Anggaran untuk proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) diblokir pada tahun 2025, menimbulkan pertanyaan besar tentang kelanjutan dan progres pembangunan IKN. Menteri Pekerjaan Umum (PU), Dody Hanggodo, mengungkapkan bahwa pemblokiran ini disebabkan oleh adanya efisiensi anggaran di Kementerian PU yang mencapai Rp 81,38 triliun. Akibatnya, realisasi anggaran untuk IKN di tahun 2025 belum ada sama sekali.

Kenapa Anggaran IKN Diblokir?
Pemblokiran anggaran ini merupakan imbas dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja. Presiden Prabowo Subianto menekankan pentingnya efisiensi anggaran, sehingga pagu anggaran Kementerian PU 2025 terpangkas hingga 80%, menyisakan Rp 29,57 triliun dari yang semula Rp 110,95 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa pemblokiran dilakukan karena adanya penyesuaian anggaran.

Dampak Pemblokiran: Proyek IKN Terancam Mangkrak?
Dengan anggaran yang diblokir, kelanjutan proyek IKN menjadi tanda tanya besar. Menteri PU bahkan berkelakar bahwa progres anggaran yang ada hanya cukup untuk "membeli makan siang Pak Menteri". Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran bahwa proyek IKN dapat mangkrak, terutama karena banyak infrastruktur dasar yang masih memerlukan dukungan dari Kementerian PU.

Meski demikian, Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian PU, Dewi Chomistriana, tetap optimis pembangunan IKN dapat dilanjutkan dengan berkoordinasi dengan Otorita IKN (OIKN). OIKN sendiri mendapatkan tambahan anggaran Rp 8,1 triliun, sehingga total pagu anggarannya menjadi Rp 14,4 triliun. Juru Bicara IKN, Troy Pantouw, juga menegaskan bahwa pembangunan IKN tetap berjalan sesuai arahan Presiden Prabowo, dengan fokus pada penyelesaian kantor legislatif dan yudikatif beserta ekosistem pendukungnya.

Optimisme
Meskipun anggaran Kementerian PU dipangkas, Presiden Prabowo telah menyetujui anggaran pembangunan IKN sebesar Rp 48,8 triliun untuk lima tahun ke depan. Komitmen ini diperkuat dengan penambahan anggaran untuk tahun ini. Menteri PU juga berupaya untuk membuka blokir anggaran dan memaksimalkan sumber daya yang ada.
 
sumber berita: cnnlimitnewsbisnismediaindonesiadetik

05 February 2025

Menyetrika: Anak Dilatih Merapikan Pakaian


 

men
menyetrika

Di tengah gempuran teknologi digital, mengajarkan anak menyetrika mungkin terkesan tidak penting. Padahal, keterampilan ini melatih banyak aspek penting dalam perkembangan anak. Selain melatih Kemampuan Motorik Halus dan Koordinasi, aktifitas menyetrika adalah melatih otot-otot kecil di tangan dan jari, meningkatkan koordinasi mata dan tangan, serta kesabaran dan ketelitian. Lebih dari itu menyetrika adalah salah satu keterampilan dasar yang berguna sepanjang hidup. Anak akan menghargai pentingnya menjaga penampilan dan merawat pakaian. Ini juga bisa menjadi bekal saat mereka hidup mandiri di masa depan. Anak belajar bertanggung jawab atas kerapian diri dan mengurangi ketergantungan pada orang lain. Ini menumbuhkan rasa percaya diri dan kemandirian.

Memadukan Keterampilan Tradisional dan Digital
Lalu, bagaimana kita bisa menghubungkan keterampilan tradisional seperti menyetrika dengan dunia digital yang akrab bagi anak-anak millenial sekarang? Video Tutorial, Aplikasi Edukasi hingga Membuat Konten Digital adalah beberapa sarana yang telah akrab bagi netizen. Pekerjaan rumah tangga, spt menyetrika, dapat dihadirkan dalam kegiatan anak di dunia maya.

Peran Orang Tua dan Guru
Orang tua dan guru memiliki peran penting dalam mengenalkan dan mengajarkan keterampilan menyetrika kepada anak. Berikan contoh yang baik, ciptakan suasana yang aman dan menyenangkan, serta berikan pujian dan dukungan atas usaha mereka. Ajarkan anak tentang etika digital dan pentingnya berbagi informasi yang benar serta menghormati hak cipta.

Dengan memadukan keterampilan tradisional dan digital, kita dapat membekali anak dengan kemampuan yang lengkap untuk menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang di masa depan. Menyetrika bukan hanya soal merapikan pakaian, tapi juga tentang membentuk karakter, kemandirian, dan keterampilan hidup yang berharga.
 
sumber bacaan: