Pemberian Abolisi dan Amnesti di Indonesia
![]() |
hukum keadilan |
Beberapa Kasus di bawah ini menggambarkan variasi alasan pemberian abolisi dan amnesti di Indonesia, mulai dari persatuan bangsa, politik, pemberontakan, hingga kemanusiaan dan rekonsiliasi sosial.
Pemberian Abolisi dan Amnesti
Pada masa awal kemerdekaan, Presiden Sukarno memberikan amnesti dan abolisi kepada para pemberontak seperti DI/TII pimpinan Daud Beureueh, PRRI/Permesta, Kartosuwirjo dari Darul Islam, serta RMS (Republik Maluku Selatan) antara tahun 1959 sampai 1961. Ini bertujuan menyelesaikan konflik politik dan memperkuat persatuan nasional.
Presiden Soeharto memberi amnesti dan abolisi kepada pengikut gerakan Fretilin di Timor Timur pada tahun 1977 sebagai bagian dari integrasi wilayah tersebut.
Presiden B.J. Habibie memberikan abolisi sekaligus amnesti kepada aktivis politik seperti Muchtar Pakpahan dan Sri Bintang Pamungkas pada tahun 1998 guna meredam ketegangan politik pasca-Orde Baru.
Presiden Joko Widodo memberikan amnesti kepada Baiq Nuril pada tahun 2019. Kasus Baiq Nuril bukan kasus politik, melainkan terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ini merupakan perluasan makna amnesti di Indonesia, dengan pertimbangan kemanusiaan.
Beberapa waktu lalu di tahun 2025 ini Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dalam kasus korupsi impor gula, setelah mendapat persetujuan DPR. Di saat yang sama, amnesti juga diberikan kepada 1.116 terpidana termasuk Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto. Pemberian ini dipandang sebagai upaya persatuan bangsa menjelang Hari Kemerdekaan ke-80.
Dinamika Berbangsa
Pemberian abolisi dan amnesti di atas memperlihatkan dinamika negara dalam merespons dinamika politik, sosial, dan kemanusiaan, dari masa konflik bersenjata, persatuan bangsa hingga kasus perorangan di era modern. Penggunaan kedua hak prerogatif ini tetap menjadi instrumen penting bagi presiden Indonesia untuk mengelola dampak hukum sekaligus menjaga stabilitas dan keadilan publik sesuai kondisi zaman.
Pendapat Masyarakat
Sebagian masyarakat terutama pegiat antikorupsi dan akademisi hukum mengkritik keputusan ini. Mereka menilai pemberian abolisi dan amnesti dalam kasus korupsi adalah preseden buruk yang dapat melemahkan komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia. Korupsi merupakan kejahatan serius dan pemberian amnesti atau abolisi seharusnya tidak digunakan untuk kasus seperti ini. Kritik ini juga mewanti-wanti bahwa keputusan tersebut bisa menurunkan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum serta memberi sinyal negatif bahwa korupsi bisa diselesaikan melalui lobi politik, bukan proses hukum yang adil.
Di sisi lain, para pakar yang mencoba menempatkan keputusan tersebut dalam konteks rekonsiliasi politik pasca-Pemilu 2024. Mereka melihat langkah Presiden Prabowo sebagai usaha untuk menguatkan persatuan bangsa dan memperluas basis dukungan politik dengan prinsip "lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah." Namun, pandangan ini tetap mengakui perlunya keseimbangan antara tujuan rekonsiliasi dengan prinsip keadilan dan kepastian hukum agar tidak merusak tatanan hukum yang bersih dan berintegritas.
sumber bacaan: tempo, uns, detik
Pada masa awal kemerdekaan, Presiden Sukarno memberikan amnesti dan abolisi kepada para pemberontak seperti DI/TII pimpinan Daud Beureueh, PRRI/Permesta, Kartosuwirjo dari Darul Islam, serta RMS (Republik Maluku Selatan) antara tahun 1959 sampai 1961. Ini bertujuan menyelesaikan konflik politik dan memperkuat persatuan nasional.
Presiden Soeharto memberi amnesti dan abolisi kepada pengikut gerakan Fretilin di Timor Timur pada tahun 1977 sebagai bagian dari integrasi wilayah tersebut.
Presiden B.J. Habibie memberikan abolisi sekaligus amnesti kepada aktivis politik seperti Muchtar Pakpahan dan Sri Bintang Pamungkas pada tahun 1998 guna meredam ketegangan politik pasca-Orde Baru.
Presiden Joko Widodo memberikan amnesti kepada Baiq Nuril pada tahun 2019. Kasus Baiq Nuril bukan kasus politik, melainkan terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ini merupakan perluasan makna amnesti di Indonesia, dengan pertimbangan kemanusiaan.
Beberapa waktu lalu di tahun 2025 ini Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dalam kasus korupsi impor gula, setelah mendapat persetujuan DPR. Di saat yang sama, amnesti juga diberikan kepada 1.116 terpidana termasuk Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto. Pemberian ini dipandang sebagai upaya persatuan bangsa menjelang Hari Kemerdekaan ke-80.
Dinamika Berbangsa
Pemberian abolisi dan amnesti di atas memperlihatkan dinamika negara dalam merespons dinamika politik, sosial, dan kemanusiaan, dari masa konflik bersenjata, persatuan bangsa hingga kasus perorangan di era modern. Penggunaan kedua hak prerogatif ini tetap menjadi instrumen penting bagi presiden Indonesia untuk mengelola dampak hukum sekaligus menjaga stabilitas dan keadilan publik sesuai kondisi zaman.
Pendapat Masyarakat
Sebagian masyarakat terutama pegiat antikorupsi dan akademisi hukum mengkritik keputusan ini. Mereka menilai pemberian abolisi dan amnesti dalam kasus korupsi adalah preseden buruk yang dapat melemahkan komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia. Korupsi merupakan kejahatan serius dan pemberian amnesti atau abolisi seharusnya tidak digunakan untuk kasus seperti ini. Kritik ini juga mewanti-wanti bahwa keputusan tersebut bisa menurunkan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum serta memberi sinyal negatif bahwa korupsi bisa diselesaikan melalui lobi politik, bukan proses hukum yang adil.
Di sisi lain, para pakar yang mencoba menempatkan keputusan tersebut dalam konteks rekonsiliasi politik pasca-Pemilu 2024. Mereka melihat langkah Presiden Prabowo sebagai usaha untuk menguatkan persatuan bangsa dan memperluas basis dukungan politik dengan prinsip "lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah." Namun, pandangan ini tetap mengakui perlunya keseimbangan antara tujuan rekonsiliasi dengan prinsip keadilan dan kepastian hukum agar tidak merusak tatanan hukum yang bersih dan berintegritas.
sumber bacaan: tempo, uns, detik
0 comments :
Post a Comment